Pembangunan Hutan Wisata
Kajundara merupakan upaya mengembangkan destinasi ekowisata alternatif selain
danau Kelimutu. Obyek wisata ini ditargetkan sebagai destinasi ekowisata kedua
di Kabupaten Ende setelah Danau Kelimutu. Sebagaimana kita ketahui, bahwa
Kelimutu merupakan daya tarik utama pengembangan wisata di Kabupaten Ende. Melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2011 tentang Rencana Induk Pengembangan
Pariwisata Nasional (RIPPARNAS) Tahun 2010-2025, Kementerian Pariwisata telah
menetapkan Kelimutu-Ende dan Sekitarnya sebagai salah satu Kawasan Strategis
Pariwisata Nasional (KSPN). Di Indonesia seluruhnya terdapat 88 KSPN. Di
Provinsi NTT terdapat dua KSPN yakni KSPN Komodo-Labuhan Bajo dan Sekitarnya,
serta KSPN Kelimutu-Ende dan Sekitarnya.
Dalam wilayah KSPN Kelimutu-Ende
dan Sekitarnya, keberadaan Hutan Wisata Kajundara cukup strategis jika dihubungkan
dengan Danau Kelimutu. Obyek wisata ini berada dalam jalur/ koridor Kota Ende -
Danau Kelimutu. Akses menuju lokasi ini tidaklah sulit. Cukup dengan berkendara
selama 20 menit dari pertigaan Wokunio ke arah Detukeli (utara) Anda sudah
mencapai lokasi hutan wisata ini. Jika
langsung dicapai dari kota Ende, diperkirakan membutuhkan waktu sekitar 1 jam
20 menit. Untuk mencapai danau Kelimutu dari kota Ende waktu yang ditempuh
berkendara sekitar 1,5 jam. Ketika pulang dari Kelimutu, untuk mencapai Hutan
wisata Kajundara ini membutuhkan waktu sekitar 50 menit.
Lokasi Hutan Wisata Kajundara (puncak Kebesani) yang tengah dibersihkan |
Kehadiran Hutan Wisata Kajundara diharapkan dapat menangkap peluang tumpahan wisatawan danau Kelimutu. Balai Taman Nasional (BTN) Kelimutu tahun 2016 melaporkan bahwa jumlah wisatawan yang mengunjungi Danau Kelimutu di tahun 2016 sebanyak 81.000 orang, baik wisatawan lokal (domestik) maupun asing. Kebanyakan wisatawan hanya menghabiskan waktu di danau sekitar 2-4 jam. Setelah itu balik kembali ke Ende, ke Maumere, atau melihat obyek wisata lainnya yang terdekat.
Danau Kelimutu biasa dikunjungi
di waktu pagi hari. Waktu yang paling baik untuk melihat keindahannya adalah
sekitar jam 6-8 pagi, saat dimana matahari terbit dari ufuk timur. Pada waktu
tersebut, ketiga danau terlihat sangat cerah. Ketika melewati pukul 8 pagi
mulai turun kabut menutupi areal danau. Inilah yang menyebabkan wisatawan sudah
harus turun gunung alias pulang kembali ke parkiran pada pukul 8-9 pagi. Apa
yang bisa diperbuat atau dikunjungi wisatawan setelah pukul 9 pagi tersebut
sebelum balik ke kota Ende?. Obyek mana lagi yang dapat mereka kunjungi selain
danau Kelimutu?. Inilah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab jika ingin
menangkap berkah dari wisatawan Kelimutu.
Di sekitar danau Kelimutu
terdapat obyek wisata lainnya yang dapat dikunjungi. Antara lain desa wisata
Koanara (Moni), Pemo, dan agrowisata di desa Waturaka. Di desa Koanara
wisatawan bisa melihat rumah adat, ornamen di dalam rumah adat, dan tenunan
tradisional. Di desa Pemo wisatawan bisa berendam di air panas Lia sembe. Di desa Waturaka, wisatawan
bisa melihat-lihat aktivitas bertani (agrokultur), serta tanaman buah-buahan
dan hortikultura yang dikembangkan masyarakat.
Kemiripan Potensi Hutan Wisata Kajundara Dengan Kelimutu
Sebagai wahana ekowisata, Hutan
Wisata Kajundara ternyata memiliki kemiripan dengan Kelimutu. Jika Kelimutu
memiliki ketiga danau yang berwarna sebagai obyek utamanya, maka Kajundara
menawarkan keindahan dan kenyamanan suasana hutan alam dan hutan Ampupu.
Memasuki areal hutan wisata ini, Anda akan merasakan kesejukan dan keramahan
hutan yang masih asri dan lestari. Untuk kenyamanan dan kebahagiaan Anda,
berbagai sarana prasarana dan wahana wisata disiapkan disini.
Burung Gerugiwa (Pachycephala nudigula) |
Jika di Kelimutu terdapat burung
Gerugiwa (Pachycephala nudigula),
maka di Kajundara juga terdapat burung ini. Burung ini biasanya berkicau antara
pukul 9-11 pagi. Suara kicauannya bisa mencapai 17 jenis suara. Ini dikarenakan burung ini memiliki kemampuan
menirukan suara burung lain. Selain burung Gerugiwa, hutan alam dan hutan
ampupu Kajundara juga merupakan habitat burung Nuri . Suara burung Nuri
terdengar ramai di hutan ini sepanjang hari.
Untuk mencapai danau Kelimutu,
Anda harus berkendara sekitar 30 menit dari pertigaan Moni (gerbang masuk) menuju
areal parkiran. Jaraknya sekitar 11 km. Nah.. untuk menuju Kajundara, Anda pun
harus berkendara sekitar 20 menit dari pertigaan Wokunio ke arah Detukeli (arah
Utara). Jaraknya sekitar 6,4 km (mencapai pintu gerbang) dan 9 km mencapai
lokasi parkiran kendaraan.
Shelter untuk berjualan yang dibangun Dinas Pariwisata Kabupaten Ende di pertigaan Wokunio |
Pertigaan Wokunio, Desa Wologai Tengah Kecamatan Detusoko |
Ketika menuju ke areal parkiran Kelimutu, sebelumnya Anda harus melewati lokasi desa wisata Woloara dan agrowisata Waturaka. Demikian pula di Kajundara. Sebelum memasuki areal hutan wisata ini, terlebih dahulu Anda harus melewati dusun Detunabe, Wologai, Faunaka, dan Wolopaku. Dusun Detunabe, Wologai dan Faunaka berada dalam wilayah adminitratif desa Wologai Tengah (Kecamatan Detusoko). Sedangkan dusun Wolopaku berada dalam wilayah desa Kebesani (Kecamatan Detukeli). Desa Wologai Tengah merupakan salah satu desa yang menjadi target kunjunguan wisatawan. Desa ini memiliki rumah adat, ornamen dalam rumah adat, tarian, dan tenunan yang bisa dilihat dan dinikmati.
Selain sebagai desa tradisional,
desa Wologai Tengah dan juga dusun Wolopaku menawarkan potensi agrowisata.
Berjenis-jenis tanaman hortikultura ditanam masyarakat pemukim kaki gunung Lepembusu
ini. Berbagai jenis sayuran dibudidayakan disini. Sebut saja berbagai jenis
Labu (Labu Jepang/Labu Siam, Labu Kuning/Labu Besi, dan Labu Putih/Uta Boda).
Ada juga Kentang, Wortel, Kubis (Kol), Kacang Panjang, dan Buncis. Jenis
tanaman umur panjang yang ditanam seperti Kopi dan Cengkeh. Ada juga tanaman
Haliah/Jahe (jahe merah maupun jahe putih), Kunyit, Lengkuas, Vanili, Lada, Merica,
Sirih, dan juga Pinang. Tanaman ini ditanam di sela-sela tanaman perdagangan.
Tanaman buah-buahan belum banyak dikembangkan di daerah ini. Meskipun demikian
wilayah ini berpotensi untuk dikembangkan Salak, Durian, Kalengkeng, Jeruk,
Mondo (buah lokal), Alpukat, Nangka, Sukun, Petai, serta jenis lainnya sesuai agroklimat
lokasi setempat.
Pintu gerbang menuju situs Rumah Adat Desa Wologai Tengah |
Kompleks Rumah Adat Wologai desa Wologai Tengah |
Sayuran yang dijual masyarakat dusun Wolopaku (Desa Kebesani)Tampak dibelakangnya hamparan pegunungan Kelindati |
Jika Kelimutu merupakan sebuah
gunung dengan ketinggian 1.600 meter dari permukaan laut (dpl), maka Hutan Wisata
Kajundara diapit oleh dua gunung, yakni Keli Ndati dan Keli Lepembusu (bahasa
lokal : Keli = Gunung). Keli Ndati memiliki ketinggian 1.400 meter dpl,
sedangkan Keli Lepembusu memiliki ketinggian 1.745 meter dpl. Dengan ketinggian
ini, puncak Lepembusu merupakan puncak tertinggi ketiga di pulau Flores setelah
puncak gunung Abulobo dan Inerie di Kabupaten Ngada (tingginya masing-masing
2.045 meter dpl dan 1.764 meter dpl). Jika Gunung Abulobo dan Inerie merupakan
gunung berapi aktif, gunung Kelimutu merupakan gunung berapi yang sudah tidak
aktif, maka gunung Lepembusu bukanlah gunung berapi. Dengan puncak yang tinggi
serta statusnya yang bukan gunung berapi inilah yang menyebabkan di puncak
gunung ini ditempatkan menara repiter Telekomunikasi. Karena tidak berapi, puncak
gunung ini sangat ramah dan bersahabat untuk didaki dan dinikmati panoramanya .
Bahkan untuk ditempatkan berbagai wahana wisata seperti spot fotografi,
perkemahan, lopo, vila/ bungalaow,
atau teropong pengamatan. Demikian pula dapat dibangun jalur pendakian (tracking) ke puncak gunung ini, baik
melalui Kajundara, Serobheto, maupun dusun Wolopaku.
Budaya dan adat istiadat
merupakan sintesa (dibentuk) dari empat elemen, yakni Manusia - Alam - Tuhan -
Leluhur. Manusia, berkaitan dengan relasi
antar manusia yang sedang hidup di muka bumi ini. Relasi antar manusia ini
melahirkan norma-norma adat yang mengatur hubungan antar manusia, misalnya
hukum kawin mengawin, belis, dan lain-lain. Alam, berkaitan dengan relasi manusia dengan alam lingkungan tempat
hidupnya. Relasi ini pula melahirkan norma-norma adat yang mengatur tata
hubungan manusia dengan alam. Adanya larangan
adat untuk menebang pohon sembarangan atau pada lokasi-lokasi tertentu yang
disebut "Pire" (pemali) merupakan
wujud dari relasi ini. Demikian pula dengan upacara adat membuka kebun, memulai
musim tanam, berburu, mengambil ramuan alam untuk membangun rumah adat, dan
lain-lain.
Elemen yang ketiga, Tuhan. Ini berkaitan dengan relasi antara manusia dengan
Tuhannya atau sang penciptanya. Relasi ini menghasilkan norma-norma adat yang
berkaitan dengan hubungan manusia dengan kekuasaan Tuhan. Misalnya adanya
ritual-ritual adat Meminta hujan. Elemen yang keempat yakni Leluhur. Masyarakat Ende Lio sangat
menghormati arwah para leluhur mereka. Relasi manusia (yang hidup jaman kini)
dengan leluhurnya melahirkan bentuk-bentuk norma dan upacara adat yang berkaitan
dengan relasi ini, seperti upacara Pa'a
loka (memberi makan leluhur) sebagaimana yang terjadi di puncak gunung
Kelimutu.
Demikian pula adat dan budaya
masyarakat yang bermukim di kaki gunung Lepembusu. Selain relasi antar manusia,
masyarakat adat setempat memiliki keterkaitan dengan alam lingkungan di sekitar
mereka. Jika puncak gunung Kelimutu dipercaya sebagai tempat berkumpulnya arwah
orang yang telah meninggal dan disana dilakukan upacara-upacara adat yang
berkaitan dengan kepercayaan tersebut (Pa'aloka
atau memberi makan para arwah leluhur), maka di Puncak Lepembusu ini pernah
dilakukan upacara-upacara adat. Wujud dan jenis upacara ini memang perlu
dieksplorasi lebih lanjut. Upacara adat ini dilaksanakan oleh keempat Mosalaki
dari empat kelompok adat yang bermukim di empat penjuru kaki gunung Lepembusu,
yakni di bagian timur, barat, utara, dan selatan. Sayangnya upacara adat tersebut sejak jaman
orde baru sudah tidak dilaksanakan lagi oleh para Mosalaki setempat.
Informasi adanya upacara-upacara
adat yang pernah dilaksanakan ini terungkap ketika BPHP Wilayah VI Denpasar
bersama KPH Ende melakukan "Sosialisasi Operasionalisasi KPH" di desa
Kebesani pada tanggal 19 Mei 2017 lalu. Dalam sosialisasi ini, pada prinsipnya
masyarakat sangat antusias dengan dibangunnya Hutan Wisata Kajundara.
Masyarakat adat setempat menginginkan agar KPH Ende bisa membantu memfasilitasi
agar upacara-upacara adat tersebut dihidupkan/ dilaksanakan kembali. Dikatakan
bahwa sejak wilayah tersebut ditetapkan menjadi kawasan hutan, maka praktis
upacara-upacara adat ini tidak dilaksanakan karena masyarakat dilarang masuk
hutan.
Sosialisasi Operasionalisasi KPH pada masyarakat desa Kebesani dan Wologai Tengah di Aula Desa Kebesani Kecamatan Detukeli, 19 Mei 2017 |
Berdasarkan informasi masyarakat,
di dalam areal hutan ampupu dan hutan alam Kajundara, dari kaki gunung hingga
puncak gunung Lepembusu, terdapat beberapa titik lokasi yang menjadi lokasi
ritual adat. Berkaitan dengan lokasi-lokasi ini serta upacara-upacara adat apa
saja yang berkaitan dengan Hutan Wisata Kajundara akan diinventarisir lebih
lanjut melalui kerjasama KPH Ende bersama masyarakat adat dalam rangka kembali
menghidupkan relasi masyarakat adat setempat dengan hutan dan alam lingkungan
di sekitarnya.
Upaya membangun Hutan Wisata
Kajundara sebagai ekowisata alternatif di Kabupaten Ende bagaikan gayung
bersambut. Semua pihak sangat mendukung terlaksananya pembangunan ini.
Kelestarian hutan dan juga dampak ekonomi bagi masyarakat setempat menjadi
harapan semua pihak. Dengan pengembangan ekowisata ini, tereksplorasi
potensi-potensi alam hayati dan non hayati, flora dan fauna, serta adat dan budaya
lokal di dalam dan sekitar lokasi Hutan Wisata Kajundara. Dan dari proses
eksplorasi ini, mulai diketahui bahwa ternyata selain unik, ada pula kemiripan
Hutan Wisata Kajundara dengan Kelimutu. Destinasi ekowisata yang kelak menjadi
destinasi kedua di Kabupaten Ende setelah Danau Kelimutu.
==Y.R. Kota==
2 komentar:
Keren .... dari dulu kalau pulang kampung atau turun ende baik sejak masih zaman jalan kaki ( naik otonya di Wokonio atau Ekoleta ) saya sudah suka tempat ini. Apalagi jika benar-benar terealisasi seperti yang penulis katakan. Mungkin satu kekuranganx adalah sumber airnya jika lokasi benar-benar ada di puncak (Serobheto), namun saya kira pasti bisa diatasi. Mudah-mudahan ide ini benar2 dapat memberdayakan warga setempat sebagai yang telah bersusah payah menanam ampupu sejak puluhan tahun lalu dan tidak sampai dengan menimbulkan kerusakan hutan. Dan jika benar-benar ada jalur tracking dari Serobheto ke Puncak Lepembusu, saya pasti akan menjadi salah satu orang yang akan menikmatinya. Dari dulu setiap kali istrahat di Serobheto selalu membayangkan jika bisa jalan kaki hingga puncak Lepembusu. Mudah-mudahan dapat segera dinikmati.
Tolong share info tentang Kewenangan lembaga untuk membangun pariwisata pada kawasan strategi pariwisata nasional kelimutu dan sekitarnya.
Posting Komentar